Nelson Tansu meraih gelar Profesor di bidang Electrical Engineering di
Amerika sebelum berusia 30 tahun. Karena last name-nya mirip nama Jepang,
banyak petinggi Jepang yang mengajaknya "pulang ke Jepang" untuk
membangun Jepang. Tapi Prof. Tansu mengatakan kalau dia adalah pemegang
paspor hijau berlogo Garuda Pancasila. Namun demikian, ia belum mau pulang
ke Indonesia .
Kenapa?
Nelson Tansu lahir di Medan , 20 October 1977. Lulusan terbaik dari SMA
Sutomo 1 Medan. Pernah menjadi finalis team Indonesia di Olimpiade Fisika.
Meraih gelar Sarjana dari Wisconsin University pada bidang Applied
Mathematics, Electrical Engineering and Physics (AMEP) yang ditempuhnya
hanya dalam 2 tahun 9 bulan, dan dengan predikat Summa Cum Laude. Kemudian
meraih gelar Master pada bidang yang sama, dan meraih gelar Doktor (Ph.D)
di bidang Electrical Engineering pada usia 26 tahun. Ia mengaku orang
tuanya hanya membiayai-nya hingga sarjana saja. Selebihnya, ia dapat dari
beasiswa hingga meraih gelar Doktorat. Dia juga merupakan orang Indonesia
pertama yang menjadi Profesor di Lehigh University tempatnya bekerja
Thesis Doktorat-nya mendapat award sebagai "The 2003 Harold A.
Peterson Best ECE Research Paper Award" mengalahkan 300 thesis
Doktorat lainnya. Secara total, ia sudah menerima 11 scientific award di
tingkat internasional, sudah mempublikasikan lebih 80 karya di berbagai
journal internasional dan saat ini adalah visiting professor di 18
perguruan tinggi dan institusi riset. Ia juga aktif diundang sebagai
pembicara di berbagai even internasional di Amerika, Kanada, Eropa dan Asia
.
Karena namanya mirip dengan bekas Perdana Menteri Turki, Tansu Ciller, dan
juga mirip nama Jepang, Tansu, maka pihak Turki dan Jepang banyak yang
mencoba membajaknya untuk "pulang". Tapi dia selalu menjelaskan
kalau dia adalah orang Indonesia . Hingga kini ia tetap memegang paspor
hijau berlogo Garuda Pancasila dan tidak menjadi warga negara Amerika
Serikat. Ia cinta Indonesia katanya. Tetapi, melihat atmosfir riset yang
sangat mendukung di Amerika , ia menyatakan belum mau pulang dan bekerja di
Indonesia . Bukan apa-apa, harus kita akui bahwa Indonesia terlalu kecil
untuk ilmuwan sekaliber Prof. Nelson Tansu.
Ia juga menyatakan bahwa di Amerika, ilmuwan dan dosen adalah profesi yang
sangat dihormati di masyarakat. Ia tidak melihat hal demikian di Indonesia
. Ia menyatatakan bahwa penghargaan bagi ilmuwan dan dosen di Indonesia
adalah rendah. Lihat saja penghasilan yang didapat dari kampus. Tidak cukup
untuk membiayai keluarga si peneliti/dosen. Akibatnya, seorang dosen harus
mengambil pekerjaan lain, sebagai konsultan di sektor swasta, mengajar di
banyak perguruan tinggi, dan sebagianya. Dengan demikian, seorang dosen
tidak punya waktu lagi untuk melakkukan riset dan membuat publikasi ilmiah.
Bagaimana perguruan tinggi Indonesia bisa dikenal di luar negeri jika tidak
pernah menghasilkan publikasi ilmiah secara internasional?
Prof. Tansu juga menjelaskan kalau di US atau Singapore , gaji seorang
profesor adalah 18-30 kali lipat lebih dari gaji professor di Indonesia ..
Sementara, biaya hidup di Indonesia cuma lebih murah 3 kali saja. Maka itu,
ia mengatakan adalah sangat wajar jika seorang profesor lebih memilih untuk
tidak bekerja di Indonesia . Panggilan seorang profesor atau dosen adalah
untuk meneliti dan membuat publikasi ilmiah, tapi bagaimana mungkin bisa ia
lakukan jika ia sendiri sibuk "cari makan".
INDONESIA LAYAK BERBANGGA
Hem... Hebat Tapi Ironis
gx yangka da orng indonesia yg sukses d ngeri orng.......
BalasHapuspa gi beliau sukse'x d negera amerika!!!!!!!
Em....em.......
Jd pngn kya gtu!!!!!!!!
Pa Mngkn ya!!!!!!!!!